Saturday, April 22, 2006

sajak ara

Dariku

Bismillahirrahmanirrahim. Selama merantau di Belanda, selalu aku usahakan untuk menggoreskan segala lintasan perasaan dan pikiran ke dalam beberapa buah kalimat. Akhirnya jadilah sebuah puisi. Tak pernah aku berpikir untuk menjilidnya jadi sebuah buku kecil.

Sampai suatu hari kubaca sebuah sms yang bunyinya: “Dame, kapan pun aku tak pernah bosan membaca puisi-puisimu”. Sejak itu aku bertekad untuk mengumpulkan puisi-puisiku dan menyeleksinya dari postingan-postinganku di beberapa milist. Buku kumpulan puisi ini kuhadiahkan pada Ara, sebagai kado pernikahan kami (Bandar Lampung,21 Agustus 2005).

Akhirulkalam, terima kasih aku ucapkan buat temanku: Hadi Susanto-penyair yang matematikawan atau matematikawan yang penyair, yang pertama kali mengajariku menulis puisi- dan Koko Sudarmoko-sastrawan dan budayawan muda-yang menulis Ulasan di bagian akhir buku ini.

“Di atas train dari Maastricht menuju Den Haag, semuanya bermula”

Maastricht, July 2005

====

Daftar Isi

Dariku, 2
Daftar Isi, 3
Sajak Ara, 4
Jejak di langit-langit, 6
Lembaran baru, 7
Menangis aku Woyla, 8
Menari aku, 10
Mati rasa, 11
Tabir, 12
Peristiwa makan, 13
Deviasi 20%, 14
Sepi, 15
Datanglah kemari kawan, aku rindu engkau, 16
Adalah atas nama sebuah nama, 17
Sejarah dan ketertipuan, 18
Dua kata saja untukmu, 19
Kabar, 21
Maulid Nabi, 22
EPILOG, 23
Komentar, 24
Ketika Puisi Dipilih, 24
Pencarian Puisi dan Cinta yang Tak Kunjung Usai, 28
Tentang [], 35

Sajak Ara

Jaar 1998

goede middag belanda,
aku datang dengan senyuman yang mengembang untuk merajut masa depan
belajar serta menghapal rumus-rumus matematika kehidupan
mencatatkan puluhan kisah dan ceritera di halaman buku-bukuku yang lusuh
tentang kincir angin, bunga-bunga tulip dan musim dingin yang tak pernah bosan

sementara itu, aku akan terus mencari sebuah nama …

Jaar 2001
goede avond belanda,
pembelajaranku telah berubah menjadi suatu pertapaan
tanahmu seperti memerangkapku dalam perenungan yang mencekam
hari-hari sepi yang ditemani oleh rasa takut, cemas, dan gelisah
seolah tanpa batas dan akhir
oleh karena itu
biarkan aku bertapa meramu ilmu-ilmuku
yang aku serap di setiap lirikan ketidakmengertian orang-orang

sementara itu, aku akan terus mencari sebuah nama …


Jaar 2003

Goede nacht belanda,
marilah kita pasang mimpi-mimpi
lalu esok pagi kita tunggu apa jawabannya
welterusten sajalah!

sementara itu, aku akan terus mencari sebuah nama …

Jaar 2005

goede morgen belanda,
pencarianku ternyata enggan menungguku untuk menjadi tua dan lelah
sebuah jawaban dari puluhan tahun pertanyaan yang menganga datang tak terduga
dia berkata:
“aku disuruh Tuhan menemanimu, akulah sang penggenap”
“akulah sebuah alasan dari sejuta perjalanan dan suatu rumus kehidupan yang kau cari-cari”

akulah sang nama,

aku adalah Ara!
Maastricht, Juni-Juli 2005

: Sajak ini aku persembahkan buat Ara - calon istriku

-&-

Jejak di langit-langit

Kadang kita tak pernah bosan menuliskan cerita yang sama untuk kita pahatkan di langit-langit. Setelah itu, kita mengaku adalah seorang pengembara yang meninggalkan jejak yang tak pernah bisa dibaca. Kita lalu berkata “Jejak yang aku tinggalkan itu tak pernah serupa, hanya matamu yang telah keliru melihatnya”. Atau di kesempatan lain, kita bersuara “Jejak yang aku tinggalkan itu selalu sama, hanya hatimu yang selalu salah menangkap pesan-pesannya”.

“Aku memunyai sejuta langit”

Di langit-langit itu, kita terlalu sering untuk merekayasa tulisan-tulisan kita. Kita lupa beribu generasi yang lahir setelah kita akan mengejanya, membacanya dan mungkin akan mengarang cerita yang sama dengan judul yang berbeda-beda. Lantas di lain masa mereka berikan penamaan yang tak ubahnya sama dengan nama kita!

Langit-langit itu penuh jejak kesaksian yang bercampur baur.
Jejak masa lalu tak pernah hapus. Ceritera lama tak pernah tuntas.
Tapi kita terus berjalan, menapaki lorong waktu. Sementara, tubuh semakin tua, mata semakin rabun.

Haruskah kita hapus jejak-jejak di sejuta langit itu?

…tergantung…jejak mana sekarang yang akan kita akui kebenarannya

dan tergantung pula

Kita adalah siapa?

Maastricht, Juni 2005

-&-

Lembaran baru

Marilah kita buka lembaran baru yang bersih dari catatan-catatan kaki masa lalu yang buram
Marilah kita saling bertutur lewat bab dan halaman yang masih bersih
Kita goreskan sebuah sejarah yang bebas dari kedengkian dan penindasan
Kita berjalan bersama menuju cahaya, berhenti sejenak di persimpangan menarik nafas
O, ya yakinkah kita bahwa jalan ini bukanlah jalan yang pernah kita tempuh bersama dulu?
Ya, dulu kita saling bersikukuh ini adalah jalan yang benar
Kita sama-sama diam mengamini,
dulu kita tempuh jalan itu, tanpa pernah kita bicarakan
Apakah kita setuju atau tidak, kita bertengkar tanpa ada kesepakatan,
lalu terus berjalan menuruti matahati, padahal kita bukanlah seorang resi yang bisa berbicara dg angin,
kemana tujuan jalan ini.
Sekarangkita ada di persimpangan,
tak ada pelita,
apakah kita akan tetap terus melakukan hal yang sama?
Maastricht, 22 Februari 2005

-&-

Menangis aku Woyla

Menangis Woyla 1: 1998

Woyla,Menangis aku meninggalkanmu dalam sedu sedan yang parau dan tertahan di perempatan itu.

“Pak Din, entahkapan aku bisa melihatmu dan dia lagi”

“Kalau besok kau kayuh lagi becakmu tolong jangan kautinggalkan dia, seperti teganya aku meninggalkannya”

Menangis Woyla 2: 2001

Woyla,Menarilah engkau bagai kanak yang kehilangan mainan.

Di pematang sawah yang penuh kenangan masa silam.

“Masihkah engkau tinggal di gubuk istanamu pak Tengku?”

“apakah engkau bolos lagi jumat ini demi berjualanikan-ikanmu? ”

“lalu duitnya akan engkau pakai untuk mentraktirku demi hanya demi ...Woyla?

”Aku tak berani menjengukmu hari ini Woyla.

Sepatu laras hijau dan tank itu telah menendangku kembali kedalam selimut sakitku.


Menangis Woyla 3: 2004

Woyla,
Aku ingin menjengukmu, aku sudah di Meulaboh sekarang.

Tidakkah engkau liat aku dari kejauhan.

Ini aku!Woyla...

Apakah negeri ini sudah kiamat?

tapak-tapak kupenuh lumpur darah dan serpihan kulit siapa yang entah aku injak dan aku kunyah

Aku memamah sunyi, membalutnya dalam gigil malam yang mencekam bersama orang-orang itu

Apakah engkau masih ada di situ, Woyla?

Maastricht, 28 Desember 2004
Puisi untuk mengenang korban tsunami Aceh 26 Desember, kupersembahkan buat penduduk desa lhok male, kec. woyla.

-&-

Menari aku

Sepanjang hari-tujuh hari sepanjang malam sepanjang minggu, kau telah sibakkan rambutmu menjadi sebilah pedang yang membabat-babat,

habislah! terbanglah!
menjadi serpihan-serpihan kecil yang direkap oleh angin dan untaian cahaya.Mimpiku Menari aku di atas rambutmu yangdikerpak-kerpak angin penuh bau balsem bercampur minyak kemiri lawang wahai sang kekasih!

kibaskanlah!

rentanglah jadi selembar jembatan titian rambutdibelah tujuh untuk bantu aku meniti menujumu.

Maastricht, November 2004

-&-

Mati rasa

aku lagi mati rasa
tak ada bunyi sama sekali
jangankan puisi
untuk berpikir menjalin kata-kata sederhana pun
aku sudah tak mampu
tolong titip rinduku lewat tatapan mataku saja
ke matamu untuk menyergap matanya
mudah-mudahan matamu bisa menangkap suatu pancaran dimataku
:aku sungguh rindu dia

Maastricht, Agustus 2004

-&-

Tabir
dulu dia tak diterima bumi,
seolah tanah air dan udara menolaknya
sekarang tabir itu sudah terungkap
ternyata malam itu adalah pagi
dan pagi yang selama ini dirasakannya itu bukanlah senja,
hanya subuh yang tetap seperti sediakala
seperti dulu...
menunggu para gadis desa membukakan jendela-jendela kamar mereka
menyapa embun pagi berselimut yang berjatuhan malu-malu
apa kabar tuan?

Maastricht, 11 Juli 2004

-&-

Peristiwa makan
peristiwa makan selalu mengasikkan
karena lidahku selalu bertanya ke otakku
dan otakku nampaknya selalu mengamini permintaan
lidahku sama seperti halnya gado-gado yang kupandang ini
ternyatatoge, tahu, dan kacang itu tak pernah ribut
siapakah gado-gado itu sebenarnya?
dan mereka pun tak pernah baku hantam mengklaim
bahwa merekalah sang pemilik nama

Maastricht, 11 Juli 2004

-&-

Deviasi 20%

dari patokan koordinat polar nol di bulan april/menujutitik deviasi 20%/ aku melihat dan mendengar darijauh/ mendekat rapat semakin dekat/ tatap hangat danhinggap terjerat dalam maklumat/
dalam hitungan tahun tak berbilang/ aku revertingmenuju garisbatas/ demi menyesuaikan diri dengan hukum alam/ yangabsolut/ menuju titik tengah tanpa kompromi/
Deviasiku adalah deviasi 20%/ yang luber di bulanjuni/ bersamawaktu menggenapi itungannya/ dalam kerlingan sang dewi.

Maastricht, Juni 2004

-&-

Sepi
aku benci sepi
tetapi dengan sadar
telah membunuh suara-suara
Maastricht, 2004
-&-
Datanglah kemari kawan, aku rindu engkau

gimana cuaca di sana? tanya kawan eksil. Angin? badai? dingin? cerah gak matahari? so pasti sobatku, cuaca Maastricht selalu lebih cerah dari EdeSil, EindhovenSil, AmsterdamSil, AlmereSil, si Sil, si Sil, seperti sprinkelnya hatiku mendengar engkau mau bertandang kemari. Oh selain itu, suhu politik aman karena kita bukan di negeri bersulang, bukan negeri arang, kata si rieke pitaloka, si cantik yang tak pernah datang kemari,

engkau tak akan pernah bosan di sini sobat, ada sejuta objek yg kau bisa abadikan dalam lensamu, untuk kau ceritakan ke buah hatimu yang lucu itu kelak. aku tunggu engkau di jembatan Maastricht kawan, tak jauh dari situ si musketeer dártagnan terbunuh dengan pedang lusuh di tangan, sembari berbisik pelan di saat-saat meregang nyawa, seakan2 meninggalkan sebuah pesan buat anak negeri, tetapi cuma terujar sebaris kalimat pendek:
aduh ... aku ingin mati di perancis bukan di sini, di negeri eksil.

Maastricht, 21 Juni 2004
-&-
Adalah atas nama sebuah nama

Adalah atas nama sebuah nama yang dilazim-lazimkan dan yang dilumrah-lumrahkan akhirnya menjadi biasa sepertinya orang bekerja dan hidup demi sebuah cinta kalkulatif dan nama kekuasaan kesanjungan dan keharuman birahi cinta untung rugi yang meninabobokkan yang ujung-ujungnya terselip harapan akan secuil pujian dari syair-syair yang selalu terus berulang-ulang walau telah berabad abad bumi Tuhan ini diciptakan. Apakah derjat kemanusiaan akan terbangun atas nama sebuah nama yang sengaja diada-adakan? Kutulis rangkaian kata ini adalah juga atas nama sebuah nama, yakni sebuah nama yang terancam hilang dan itu adalah ketulusan.

Maastricht, 4 April 2004
Dua kata saja untukmu
-&-
Sejarah dan ketertipuan

Sejarah telah membuktikan bahwa manusia kerap hidup dengan menciumkan pantatnya pada hidung-hidung kekuasaan yang mancung yang mengendus-endus menjingkap mengintip menculik harta dan wanita dalam setiap jengkal ketiak manusia Kemudian sang pengendus diberi label dengan tulus ikhlas oleh mata buta orang-orang yang mengorbankan dirinya untuk ditipu oleh buai-buai berita dalam koran sebagai profil orang sukses yang tak habis-habisnya juga diceritakan sebagai simbol anak desa kesuksesan yang telah berhasil melepaskan dirinya dari rantai kemiskinan. Padahal dalam setiap detiknya dia tak ubahnya seperti seorang serigala yang cuma melihat anda sebagai mangsa empuk buruannya.
Endhoven, 22 Oktober 2003
-&-
dua kata saja untuk mu

Tengoklah di kampungkau sana, engkau dengan mudah dicap dengan attribut dua kata saja: sukses atau gagal, menang atau kalah. Tak dihiraukan oleh orang kampungmu itu betapa dahsyatnya robeknya kemanusiaanmu demi kesuksesan yang telah engkau raih. Engkau bolehtutupi setiap bait kemunafikan yang telah engkaugadaikan demi sebuah kata harga mati yakni sukses. Engkau boleh jadi pulang dengan wajah lusuh pakaian kumal ditambal tetapi membawa hati yang cerah merdeka sebagai seorang manusia.
Engkau boleh berucap, aku telah belajar! aku telah belajar!, dan sekarang aku lapar tak punya uang, ajak lah aku sebentar untuk singgah di rumahmu demi seteguk air dan sepiring nasi.Engkau boleh jadi akan diundang masuk, tapi mata tuan rumahmu berkata membisu engkau tetap gagal! karena tak ada kemilau di badanmu.

Eindhoven, 22 Oktober 2003
-&-
Kulihat

kulihat rona wajahmu di wajahnya
dan wajahnya di wajahmu
lalu aku yakindia memang jodohmu
sayangnyaaku tak bisa melihat
wajah siapa yang membayang di wajahku
dan wajahku ada di wajah siapa
Tilburg, Juni 2003
-&-
Kabar

tanyakanlah pada angin yang membawa kabar,
pucuk daun bergoyang dan ranting-ranting patah
gemerincing kerisik diterpa angin musim dinginyang beku
menyulap tetes embun menjadi salju
engkau bertanya pada aku
di sanalah aku
dua tiga tahun berlalu menyapa dan tiba-tiba lenyap
raib diculik kabut mimpi-mimpi
sunyi, senyap, gelap, dingin
engkau bertanya pada aku
di sanalah aku
sekilauan mentari pagi menyapa lembut
membisikkan bait-bait puisi tersintak menggeliat malu
engkau bertanya pada aku
di sanalah aku
adakah kau terbangun dari tidurmu
engkau bertanya pada akudi manakah aku?
dapat kuberikan seribu satu alasan keberadaanku
dan dunia pun pasti akan membenarkannya
di sanalah aku
Tilburg, Mei 2003
-&-
Maulid Nabi

Kok Aku tidak ingat ya ?
Ulang tahun nabi kita
Ah,
mungkin karena serpihan daging
Di gigi masih tersisa
Jadi aromaMembuat aku lupa

Tilburg, Mei 2003
-&-
EPILOG

Sampai di sini suatu rekaman kilas balik
Sekarang aku ingin beristirahat sejenak
Menyeduh teh
sembari duduk-duduk di serambi rumah yang baru
Pesta sudah usai, tapi tidak dengan kehidupan
Aku baru saja memulainya

O, ya
Malam ini aku ingin terjaga dari tidur
oleh sebuah cubitan kecil
“Mari kita bangun, sayangku”
“Tuhan sudah menunggu kita”

Ahdar, Maastricht, Juli 2005
==============
ULASAN
==============
Ketika Puisi Dipilih

Oleh: Sudarmoko

Perkenalan dengan orang-orang di luar negeri, bagiku, adalah sebuah perkenalan yang tak tersangka. Dari perkenalan itu, aku mendapatkan berbagai gambaran bagaimana mereka mengartikulasikan hidup, mengatasi berbagai hal yang mencekam, membunuh kerinduan akan negeri dan segala asal usulnya, mengawasi berbagai sengkarut yang terjadi, dan pada akhirnya menjaga identitas mereka sebagai seorang individu dengan segala atribut yang melekat padanya.
Artikulasi dimaksud dapat berbentuk apa saja. Tergantung pada kemampuan dan cara yang mereka kuasai. Mereka juga berlatar apa saja. Ada yang menjadi ahli bidang tertentu yang kemudian bekerja dan menekuninya. Ada yang menjadi penulis, pelukis, musisi, pekerja restauran, atau mendirikan yayasan yang secara bersama-sama melakukan berbagai aksi. Latar mereka beragam. Ada yang sekolah, pekerja, dan memang terhalang pulang.
Tetap saja, mereka adalah bagian dari sebuah bangsa yang mungkin saja bangsa itu tak lagi kenal siapa mereka. Mungkin perkataan klasik “jangan tanya apa yang negara berikan padamu tapi bertanyalah apa yang kamu berikan pada negara” berlaku juga pada mereka. Hanya, memang, mereka tak pernah bertanya itu selain hanya menjadi gumam. Menjadi sejarah dan harapan.
Lalu bagaimana dengan puisi? Kenapa harus puisi? Pertanyaan ini seakan menjadi kuno dan klasik. Bukan karena puisi telah ditulis berulang kali, namun karena puisi telah menjadi sesuatu yang setia menemani aktivitas manusia sejak dulu hingga kini. Puisi telah menelan apapun dari kegelisahan diri. Namun, toh, puisi terus menerus hadir dan lahir.
Salah seorang yang ada di antara mereka adalah []. Seorang ‘pengelana’ dalam arti perjalanan sekolah dan yang sebau dengan itu, dan juga dalam arti perjalanan seseorang sebagai sebuah sosok dengan segala atribut budayanya. Dan di antara sekian perjalanan itu, puisi masih singgah dalam hidupnya. Dan di sinilah aku berbicara, berhadapan dengan puisi-puisi dan segala pesonanya.
Kegelisahan Anto dalam puisi, hanyalah sebagian kecil dari apa yang bisa dimampatkan ke dalam puisi. Puisi-puisi di halaman awal dalam kumpulan ini menegaskan bagaimana puisi dapat digunakan untuk apa saja. Kumpulan puisi ini, contohnya, adalah sebuah kado pernikahan penulisnya. Sebuah niat yang mungkin bagi kebanyakan penulis puisi ingin melakukannya.
Pada puisi-puisi ‘pencarian’nya, penulis puisi ini memperlihatkan sikap yang, seperti kebanyakan orang, menyerahkan sebuah keinginan pada waktu yang akan mengirimkan kenyataan. Waktu, dalam bahasa si penulis puisi sendiri, seperti memerangkapku dalam perenungan/ yang mencekam/ hari-hari sepi yang ditemani oleh rasa takut, cemas,/ dan gelisah/ seolah tanpa batas dan akhir (puisi Jaar 2001).
Meski pada akhirnya si penulis menemukan apa yang ia cari dan ia tunggu, sebuah nama yang lalu singgah bersama dan menemaninya, namun waktu telah mencatat bahwa bukan akhir yang menjadikan sebuah proses itu menarik, namun proses itu sendiri. Sebuah nama akhirnya singgah. Namun akhir yang baik selalu disusun dari awalan dan pertengahan yang memesona pula.
Di sinilah, aku pikir, puisi berbicara tentang persoalan apa saja. Dalam rentang waktu yang panjang, energi kreatif untuk memuisikan hal-hal yang penting menjadi suatu kelebihan. Pada sebagian orang, menulis puisi tidaklah semudah menuliskan kenangan dan harapan. Dan pada sebagian yang lain, selalu menuliskan berbagai hal dalam bentuk puisi juga terkadang menjadi kegiatan yang mekanik dan tak menyentuh. Bukan berarti bahwa menulis puisi menjadi susah atau gampang, namun lebih menjadi sebuah pilihan yang membutuhkan keseriusan, memilih dan memilah peristiwa, untuk kemudian menjadikannya puisi.
Puisi, karenanya, terkadang menjadi sebuah hal yang remeh sekaligus penting. Kepercayaan Anto untuk menuliskan apa yang dirasakan dan dipikirkannya dalam bentuk puisi seolah mempertegas fleksibilitas puisi untuk merangkum dan menerima berbagai kemungkinan tematik. Tak menjadi soal apakah puisi-puisinya kemudian dipenuhi oleh diksi kerapuhan dan keinginannya, karena toh, sebagaimana si Aku tak sanggup berhadapan dengan Woyla yang dikitari oleh kekerasan dan tindakan (dalam Menangis Aku Woyla), adalah sebuah hal yang manusiawi.
Mungkin persoalan yang muncul dalam kumpulan puisi ini tak lebih hebat dari pengalaman dan persoalan yang dihadapi oleh pembaca. Namun ketika semua itu telah menjadi puisi, persoalan-persoalan itu kemudian menjadi abadi. Di sinilah letak kelebihan sebuah puisi, sebuah tulisan, yang mengukuhkan persoalan menjadi tidak saja sebuah dokumen atau monumen, namun lebih dari pada itu adalah kemungkinan dialog. Sebab, meskipun tampaknya puisi-puisi Anto digunakan sebagai sebuah alat untuk mencatat peristiwa yang, kadang, susah dipahami lewat pikiran, namun toh puisi tak selamanya mampu ditulis. Sebagaimana terbaca pada baris-baris: jangankan puisi/ menjalin kata-kata sederhana pun/ aku sudah tak mampu (puisi Mati Rasa).
Persoalan yang kadang susah dipikirkan itu, salah satunya, tentang pandangan dan tuntutan untuk selalu berhasil dalam perantauan. Perantauan diharapkan selalu menghasilkan para pemenang dan kaum sukses yang diharapkan kelak dapat membuat keluarganya terhormat. Puisi Dua kata saja untukmu tampaknya menjadi sebuah puisi yang paling dekat pada psikologi si penulisnya. Puisi ini, dengan pilihan kata yang sederhana dan bergaya naratif sekaligus introspektif, menciptakan sebuah dunia jamak di dalam kehidupan sebuah entitas masyarakat namun selalu menimbulkan dilema bagi sebagian orang. Tuntutan untuk selalu berhasil dan artifisial, dalam puisi ini, dicoba-tawarkan sebagai sebuah pertanyaan atau (per)ingatan.
Dalam pembacaan puisi-puisi yang terhimpun dalam Sajak Ara... ini, puisi Dua kata saja untukmu inilah rasanya, bagiku, yang merepresentasikan sebuah gejala dengan baik. tentu saja, pembacaan ini terasa sangat subjektif sebab puisi memang menawarkan banyak hal. Dan pengantar ini memang sekadar perkenalan dan hantaran untuk sebuah pembacaan lebih jauh yang dapat dilakukan pembaca secara intim.
Sebenarnya puisi dapat berbicara langsung dengan pembacanya. Tanpa harus ditemani dengan hantaran atau pembicaraan tentangnya. Namun, kadang, pembicaraan seperti ini juga dapat membantu dialog dan komunikasi lebih lanjut antara puisi dan pembaca yang lain. Sebab dibutuhkan juga percik api untuk memulai kobaran yang besar. Dan inilah yang aku harapkan dengan menerima tawaran untuk menulis sebuah esai pendek teman bicara. Selebihnya adalah dialog itu sendiri.

Leiden, 23 Juli 2005


Pencarian Puisi dan Cinta yang Tak Kunjung Usai
Sebuah Apresiasi untuk Kado Pernikahan Ahdar dan Ara

Oleh: Hadi Susanto

“Selama ini/ kumencari-cari/ teman yang sejati/ buat menemani/ perjuangan suci// Bersyukur kini/ padaMu Ilahi/ teman yang dicari/ selama ini/ telah kutemui//”

Lagu Teman Sejati yang dibawakan oleh grup nasyid Brothers dari Malaysia dan diacapellakan tim nasyid SNADA dari Jakarta ini langsung bernyanyi di telinga saya ketika mendapat kabar bahwa [] akan menikah. Mungkin seperti Ally McBeal dengan lagu Searchin' My Soul yang tiba-tiba terdengar di telinganya, walau kali ini tanpa orang-orang kecil menari-nari di sekitar saya.

Saya terbiasa memanggilnya Bang Anto, bukannya Ahdar seperti pada judul tulisan ini. Kesan pertama melihat [], saya melihat seorang gelisah yang tidak nyaman dengan kemapanan. Bertahun-tahun kemudian kami berkawan. Namun kesan kegelisahan yang saya tangkap dulu masih belum berubah. Hingga saat ini bahkan.

Sebagai teman dekat, saya mengenal Anto seperti sebuah koin yang berdua sisi: di satu mata Anto sebagai teman yang mulai menggemari puisi dan di mata yang lain Anto yang berusaha mengenali keberadaannya di dunia ini. Karenanya, saya bagi kado tulisan apresiasi ini dalam dua subbab: Pencarian Puisi dan Pencarian Cinta.

Sebagai teman berbagi dalam Pencarian Puisi, Anto selalu mengatakan ia tidak ingin membaca karya orang lain ketika saya menyebutkan nama seorang penyair. Ia ingin memiliki gayanya sendiri dan tidak terpengaruh penulis lain.

Entah pada akhirnya apakah ia mengikuti pendapat saya bahwa kita bisa belajar dan menjadi lebih baik dengan membaca karya indah orang lain atau tidak, tapi pada akhirnya pula puisi-puisi Anto semakin berisi dan bagus. Saya juga menemukan beberapa tulisannya bernapas dan berdandan seperti penyair lain. Mungkin Anto membaca karya-karya orang lain dan gaya mereka masuk di bawah sadarnya tanpa ia sadari. Dan di saat ia menangkap ilham kata-kata, alam bawah sadarnya keluar, berperan, dan ikut menentukan bagaimana ia mengguratkan kata-kata itu sebagai puisi.

Sebagai objek bedah pertama, mari kita perhatikan sajak Peristiwa Makan berikut ini. Namun sebelumnya, maafkan saya karena apa yang akan saya tulis di bawah-bawah ini hanya berdasar kata hati saja, tanpa teori, tanpa ilmu apa-apa tentang sastra. Terlebih lagi, saya hanyalah seorang pekerja matematika. Karena itu, tidak ada bagian dalam apresiasi saya di tulisan ini yang bisa dijamin kesahihannya

peristiwa makan selalu mengasikkan
karena lidahku selalu bertanya ke otakku
dan otakku nampaknya selalu mengamini permintaan
lidahku
sama seperti halnya gado-gado yang kupandang ini
ternyata
toge, tahu, dan kacang itu tak pernah ribut
siapakah gado-gado itu sebenarnya ?
dan mereka pun tak pernah baku hantam
mengklaim bahwa merekalah sang pemilik nama
(sajak Peristiwa Makan)

Membaca sajak Anto di atas, pikiran saya –lagi-lagi jadi seperti Ally McBeal— langsung teringat sajak Sapardi Djoko Damono di bawah ini.

waktu berjalan ke barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan
(sajak Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari)

Satu hal yang pasti bisa dikenali sebagai kesamaan antara karya Anto dan si penyair liris Indonesia ini adalah pernyataan ‘kesadaran untuk tidak saling memperebutkan apa atas apa’. Jika Sapardi menceritakan betapa ‘rukun’nya “aku dan matahari” atau
“aku dan bayang-bayang”, maka Anto menggambarkan betapa ‘karib’nya “toge, tahu, dan kacang”. Saya sendiri menangkap lima baris terakhir dari sajak Peristiwa Makan sebagai ‘sangat Sapardi’, baik dari tema, gaya bahasa, maupun diksi pemilihan kata.
Sebagai penggemar Sapardi, maka tidak bisa tidak saya harus menyukai sajak Anto di atas (terutama lima baris terakhirnya, tentu saja).

Sajak kedua yang menarik perhatian saya adalah sajak Menari Aku.

Sepanjang hari-tujuh hari sepanjang malam sepanjang
minggu, kau telah sibakkan rambutmu menjadi sebilah
pedang yang membabat-babat, abislah ! terbanglah !
menjadi serpihan-serpihan kecil yang direkap oleh
angin dan untaian cahaya.
(sajak Menari Aku)

Sajak ini akan sangat menarik jika dibaca dengan intonasi yang rapat a la orang kesurupan. Dan sajak-sajak seperti ini dalam ingatan saya selalu berasosiasi dengan Nanang Suryadi, penyair yang dosen ekonomi Unibraw.

Perhatikan salah satu sajaknya yang berjudul Sebusur Panah; Lekaslah! berikut ini.

sebusur panah, lekaslah. telah tabah binatang buruan.
ini takdir digurat di langit janji. lekaslah!

sebusur panah, lekaslah. lesat pada jantung.
biar punah segala goda. biar puas segala pinta.

sebusur panas, lekaslah. apa lagi dinanti.
ini jantung menanti-nanti, takdir menjadi!
(sajak Sebusur Panah; Lekaslah!)

Dominasi dan permainan bunyi di kedua sajak di atas begitu terasa. Orang boleh menyebut bahwa jika yang dirasakan utamanya adalah bunyi maka itu artinya beraliran Sutardji. Tapi bagi saya, kedua sajak di atas bukan ‘Sutardji-an’, terlebih karena keduanya membawa pesan, cerita dan tema, tidak sekadar suara. Selain Menari Aku, sajak Adalah Atas Nama Sebuah Nama juga sangat senapas dengan puisi-puisi Nanang Suryadi.

Anto dan Nanang seringkali saling berkorespondensi walau tentang marketing, bukan dalam puisi. Tapi satu pertanyaan yang kemudian menggelitik pikiran saya tentang kesamaan rasa puisi di atas adalah: apakah dua puisi itu ditulis Anto setelah berkenalan dengan Nanang?
Berikutnya, saya juga menyukai sajak Sepi

aku benci sepi
tetapi dengan sadar
telah membunuh suara-suara
(sajak Sepi)

dengan diksi/pilihan katanya yang sangat ringkas dan padat. Juga

Kok Aku tidak ingat ya ?
Ulang tahun nabi kita
Ah, mungkin karena serpihan daging
Di gigi masih tersisa
Jadi aroma
Membuat aku lupa(sajak Maulid Nabi)

yang sangat bergaya ‘sinis-satiris’ tapi disampaikan dengan anggun yang mengingatkan saya pada puisi-puisi balsem KH Mustofa Bisri (Gus Mus).

Masih banyak yang ingin saya tuliskan dari hasil membaca kumpulan puisi Sajak Ara ini. Salah satunya, saya ingin mengatakan bahwa memiliki kesamaan dengan penulis lain tidak selalu berarti menjadi epigon mereka. Seringkali kemiripan itu mau tidak mau harus dipunyai untuk bisa menjadi lebih baik. Tapi yang pasti, Anto sekarang telah bisa menulis puisi. Dan terlebih lagi, asumsi bahwa sajak-sajak Anto mirip sajak si ini dan si itu adalah pendapat saya pribadi yang tidak berdasar satupun teori.

Selanjutnya Anto mungkin bisa langsung belajar bersama (atau.... kepada?) sang istri, Ara, yang setahu saya sampai saat ini telah beberapa kali memunculkan cerpennya di media massa. :) Mungkin juga Anto berikutnya bisa mengembangkan esai-esai pendeknya yang juga bisa sangat ‘sinis-satiris’ dan bahkan ‘padangis’ itu (entah kenapa ‘si Sutan’ yang mirip Secangkir Kopi Jon Pakir-nya Emha tidak dimasukkan dalam antologi ini....) bersama Ara.

Sebagai penutup kado tulisan ini, sampailah saya pada bagian Pencarian Cinta. Perahu telah ditambatkan, jangkar telah dilabuhkan, dan niat telah dibulatkan. Dulu Anto belum melihat siapa yang akan menjadi pasangan hidupnya di dunia ini sampai-sampai ia menulis sajak di bawah ini yang saya yakin terinspirasi oleh kebahagiaan pernikahan sahabatnya.


kulihat rona wajah mu diwajahnya
dan wajah nya di wajah mu
lalu aku yakin
dia memang jodohmu

Sayangnya
Aku tak bisa melihat wajah siapa
Yang membayang di wajahku
dan wajahku ada di wajah siapa
(sajak Kulihat)

Dan kini, Anto telah melihat wajahnya di wajah Ara dan juga sebaliknya. Tapi bagaimanapun, pernikahan hanyalah awal dari sebuah perjalanan baru yang panjang. Anto sendiri telah menyadari hal itu seperti yang dituliskannya dalam EPILOG, sajak penutup buku kumpulan puisi kadonya:


Sampai disini suatu rekaman kilas balik
Sekarang aku ingin beristirahat sejenak
Menyeduh teh sembari duduk-duduk di serambi rumah yang baru
Pesta sudah usai, tapi tidak dengan kehidupan
Aku baru saja memulainya
(sajak EPILOG)

Bahkan lebih dari itu, pernikahan adalah sebuah terminal baru dari pencarian cinta yang lebih hakiki, pencarian yang mungkin tak ada henti, pencarian Cinta Ilahi seperti kelanjutan sajak EPILOG di bawah ini:

O, ya
Malam ini aku ingin terjaga dari tidur
oleh sebuah cubitan kecil
“Mari kita bangun, sayangku”
“Tuhan sudah menunggu kita”
(sajak EPILOG)

Akhirnya, selamat membina hidup baru, Bang! Semoga pernikahan kalian diberkahi dan memberkahi mereka yang ada di langit dan di bumi.

Enschede, 20-07-2005

This page is powered by Blogger. Isn't yours?